Senin, 18 Februari 2013

Permainan Yang Terlupakan


MASIH ingatkah anda dengan kelereng? Permainan tradisional ini kian tenggelam di tengah maraknya produk mainan modern berteknologi tinggi seperti Playstation, Nintendo, Game Internet dan sejenisnya.

Untuk sekadar menyegarkan ingatan, berikut ada cerita tentang kelereng dan bagaimana si bulat kecil ini pernah jadi idola anak-anak di masanya.


Jaman dulu kan beda sama jaman sekarang, dulu saya sama teman-teman hobi banget main kelereng. Nanti kalau menang, saya boleh bawa pulang kelereng teman yang warnanya bagus-bagus. Kadang suka saya koleksi juga, makin banyak jumlahnya, makin bangga.

Saat ini, kelereng tampaknya sudah sulit dijumpai sebagai permainan anak-anak. Toko atau warung yang pernah menjualnya pun rata-rata mengaku sudah jarang kedatangan permintaan kelereng dari pembeli anak-anak. Bahkan, tidak pernah lagi.

Di Indonesia, kelereng dikenal hampir di seluruh wilayah sampai pelosok negeri ini dengan nama yang berbeda-beda.

Orang Betawi menyebutnya dengan nama gundu sedangkan orang Jawa menyebutnya neker. Di tataran Sunda terkenal dengan kaleci. Adapun di Palembang disebut ekar, di Banjar namanya kleker, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak sebutan untuk kelereng, ternyata ada sejarah dibaliknya.

Kelereng adalah bola kecil yang terbuat dari tanah liat, marmer, atau kaca untuk permainan anak-anak. Ukurannya bermacam-macam, umumnya ½ inci (1.25cm) dari ujung ke ujung. Pertama kali ditemukan pada peradaban Mesir Kuno sekitar tahun 3000 SM terbuat dari tanah liat atau batu.
Kelereng tertua yang berasal dari tahun 2000-1700 SM saat ini dikoleksi oleh The British Museum di London. Kelereng tersebut ditemukan di Kreta pada situs Minoan of Petsofa. Pada masa Romawi, permainan Kelereng juga sudah dimainkan secara luas.

Bahkan, menjadi salah satu bagian dari festival Saturnalia, yang diadakan saat menjelang perayaaan Natal. Saat itu semua orang saling memberikan sekantung biji-bijian yang berfungsi sebagai kelereng tanda persahabatan. Salah seorang penggemar kelereng adalah Octavian, kelak menjadi Kaisar Agustus.

Layaknya permainan, di Romawi saat itu juga mempunyai aturan-aturan resmi. Peraturan tersebut menjadi dasar permainan sekarang. Di Perancis, kelereng disebut dengan bille, artinya bola kecil yang ditemukan pada abad ke – 12. Berbeda dengan di Belanda, warga sana menyebutnya dengan knikkers.

Konon, penyebutan ‘neker’ dari orang Jawa terpengaruh dari bahasa yang dipakai orang Belanda saat menjajah Indonesia dulu. Sementara tahun 1694, kelereng juga dimainkan di Inggris dengan sebutan marbles. Marbles terbuat dari marmer yang didatangkan dari Jerman.

Namun, jauh sebelumnya, anak-anak di Inggris telah akrab menyebutnya dengan bowls atau knikkers. Baru setelah era itu, kelereng menyebar dan populer di Amerika dan negara Eropa lain. Lantaran kemajuan teknologi, pembuatan kelereng tidak lagi menggunakan tanah liat melainkan kaca.

Teknologi pembuatan kelereng kaca ini ditemukan pada 1864 di Jerman. Kelerang yang semula hanya satu warna berubah menjadi berwarna-warni mirip permen. Teknologi ini segera menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika. Namun, akibat Perang Dunia II, pengiriman mesin pembuat kelereng itu sempat terhenti dan akhirnya masing-masing negara mengembangkannya sendiri.

Cara bermain permainan ini cukup mudah dan dapat merangsang kecerdasan anak untuk dapat mengenai kelereng lawannya. Ada dua tipe permainan kelereng yakni permainan bulat (dulu disebut boom) dan permainan lubang. Biasanya permainan bulat dimainkan Kelereng adalah bola kecil yang terbuat dari tanah liat, marmer, atau kaca untuk permainan anak-anak.

Biasanya minimal dua sampai tak terbatas, kebanyakan 4 atau 6 orang. Permainan jenis ini memakai sistem bermain bayar. Banyak sedikitnya kelereng yang dipertaruhkan tergantung dari aturan yang dibuat oleh pemain.

Jadi masih inginkah Anda bermain kelereng, jika masih, Silahkan anda datang ke Jln. Air Bersih Kutablang Kota Lhokseumawe dan anda bisa menikmati permainan ini di sore hari.. :)

Sumber : http://okezone.com/

0 komentar:

Posting Komentar